Senin, 29 April 2013

TERAPI TINGKAH LAKU


NAMA           : DIAH RETNO WULANDARI
NPM               : 11510953
KELAS          : 3PA01

TERAPI TINGKAH LAKU (BEHAVIOR THERAPY)
PENGANTAR
Tokoh utama dalam teknik ini adalah Wolpe, Eysenck, Lazarus, Salter. Suatu model terapi yang merupakan penerapan prinsip-prinsip belajar pada penyelesaian gangguan-gangguan tingkah laku yang spesifik. Hasil-hasilnya merupakan bahan bagi eksperimentasi lebih lanjut. Terapi tingkah laku secara berkesinambungan berada dalam proses penyempurnaan. Berdasarkan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikometri yang berurusan dengan pengubah tingkah laku.
Perkembangan terapi-terapi tingkah laku ditandai oleh suatu pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir tahun 1950-an. Pada awal tahun 1960-an, laporan-laporan tentang penggunaan etknik-teknik terapi tingkah laku sekali-sekali muncul dalam kepustakaan profesional. Kini, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku menduduki tempat yang penting dalam lapangan psikoterapi dalam banyak area pendidikan.
Dewasa ini, banyak program latihan yang dengan jelas menitikberatkan orientasi behavioral. Kecenderungan ini akan lebih mengesankan apabila kita mengingat bahwa selama akhir 1950-an dan awal tahun 1960-an kesehatan mental yang dengan segala cara substansial melibatkan terapi tingkah laku. Salah satu aspek yang penting dari gerakan modifikasi tingkah laku adalah penekanannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamati, dan diukur.

KONSEP-KONSEP UTAMA
Pandangan tentang Sifat Manusia
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkap hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Terapi tingkah laku kontemporer bukanlah suatu pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik, yang menyingkirkan potensi para klien untuk memilih. Hanya “para behavioris yang radikal” yang menyingkirkan kemungkinan menentukan diri dari individu.
Terapi tingkah laku berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, ditandai oleh : (a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan peosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah, (d) penaksiran objektif atau hasil-hasil terapi. Terapi tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik, terapi tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Pada dasarnya, terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Karena tingkah laku yang dituju dispesifikan dengan jelas, tujuan-tujuan treatment dirinci dan metode-metode terapeutik diterangkan, maka hasil-hasil terapi menjadi dapat dievaluasi.

Tujuan-Tujuan Terapis
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh.
Ada beberapa kesalahpahaman yang menyangkut masalah tentang tujuan-tujuan dalam terapi tingkah laku. Salah satu kesalahpahaman yang umum adalah bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan gejala-gejala suatu gangguan tingkah laku dan bahwa stelah gejala-gejala itu terhapus, gejala-gejala baru akan muncul karena penyebab-penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Kesalahpahaman yang lainnya adalah bahwa tujuan-tujuan klien ditentukan dan dipaksakan oleh terapis tingkah laku.
Krumboltz dan Thorensen (dalam Corey, 2009) mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku sebagai berikut : (1) tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang ingin dicapai oleh klien, (2) konselor harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan, (3) harus terdapat kemungkinan untuk menaksirkan sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya.

Fungsi dan Peran Terapis
Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosa tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive. Krasner (dalam Corey, 2009) mengajukan argumen bahwa peran seorang terapis, terlepas dari analisis teorisnya, sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apapun yang dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif maupun negatif.
Goodstein (dalam Corey, 2009) juga menyebutkan peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Peran konselor adalah menunjang perlembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan cara sistematis memperkuat jenis tingkh laku klien semacam itu.

Teknik-Teknik Utama Terapi Tingkah Laku
Desensitisasi Sistematik
Salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau proses yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi.
Wolpe (dalam Corey, 2009) telah mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Prosedur model pengondisian balik ini adalah sebagai berikut :
1.      Desensitisasi sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan dalam suatu wilayah tertentu seperti penolakan, rasa iri, ketidaksetujuan, atau suatu fobia.
2.      Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengenduran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh.
3.      Proses desentisisasi melibatkan keadaan dimana klien sepenuhnya sanatai dengan mata tertutup. Terapis menceritakan serangkaian situasi dan meminta klien untuk membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu.
Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia. Selain itu, desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.

Terapi Implosif dan Pembanjiran
Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik-teknik desentisisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan. Terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi, dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
Stampfl (dalam Corey, 2009) mengembangkan “terapi implosif”. Terapi implosif berasumsi bahawa tingkah laku neurotik melibatan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecamasan. Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus.

Latihan Asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpesonal.

Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur teknik aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang populer adalah bahwa teknik-teknik yang berlandaskan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi para terapis tingkah laku.

Pengondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makanan, bermain, dan sebagainya. Terdapat metode-metode yang lain dalam pengondisian operan :
·         Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder, diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Contoh pemerkuat sekunder adalah senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau tanda penghargaan, uang dan hadiah-hadiah.
·         Pembentukan respons
Dalam pembentukan respons, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak dapat dalam perbendaharaan tingkah laku individu.
·         Perkuatan intermiten
Disamping membentuk perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, terapis harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya, jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.
·         Penghapusan
Apabila suatu respons terus menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptif itu. Terapis, guru, dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi.
·         Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model.
·         Token economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuari dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak bisa memberikan pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini.



Sumber : Sumber : Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Minggu, 21 April 2013

TERAPI RASIONAL-EMOTIF


NAMA           : DIAH RETNO WULANDARI
NPM               : 11510953
KELAS          : 3PA01

TERAPI RASIONAL-EMOTIF
PENGANTAR
Pendiri terapi rasional-emotif adalah Albert Ellis. Suatu model terapi yang sangant didaktik, berorientasi kognitif tindakan, serta menekankan peran pemkiran dan sistem-sistem kepercayaan sebagai akar masalah-masalah pribadi. Terapi rasional-emotif (TRE) lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tingkah-laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berpikir, menilai, memutuskan, menganalisa, dan bertindak. Konsep-konsep TRE membangkitkan sejumlah pertanyaan, yaitu:
·         Apakah pada dasarnya psikoterapi merupakan suatu proses redukasi?
·         Apakah sebaiknya terapis berfungsi terutama sebagai guru?
·         Apakah pantas para terapis menggunakan propaganda, persuasi, dan saran-saran yang sangat direktif?
·   Sampai mana keefektifan usaha membebaskan para klien dari “keyakinan-keyakinan irasional”-nya dengan menggunakan logika, nasihat, informasi, dan penafsiran-penafsiran?

KONSEP-KONSEP UTAMA
Pandangan tentang Sifat Manusia
TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun, menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan drinya sendiri ataupun orang lain.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas situasi yang spesifik. Tentang sifat manusia, Ellis (dalam Corey, 2009) menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanalitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dan memadai.

Tujuan-Tujuan Terapis
Ellis (dalam Corey, 2009) menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu: “meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang realistik”. Tujuan utama psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
TRE tidak diarahkan semata-mata penghapusan gejala, tetapi untuk mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar. TRE bergerak keseberang penghapusan gejala, dalam arti tujuan utama proses terapeutiknya adalah membantu klien untuk membebaskan dirinya sendiri dari gejala-gejala yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan kepada terapis.
Ringkasnya, proses terapeutik ini terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbahagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi, karenanya, sebagian besar adalah proses belajar-mengajar.

Fungsi dan Peran Terapis
TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu: membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan takhyul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Langkah pertama adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaiman klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan banyak “keharusan”, “sebaiknya” dan “semestinya”.
Langkah yang kedua adalah membawa klien ke seberang tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang  mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Langah ketiga berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikirannya da meninggalkan gagasan-gagasan irasionalnya. Langkah terakhir dalam proses terapeutik adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irasional. TRE pada dasarnya adalah suatu proses terapeutik kognitif dan behavioral yang aktif-direktif, TRE sering meminimalkan hubungan yang intens antara terapis dan klien.

PENERAPAN : TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Utama TRE
Ellis (dalam Corey, 2009) berpendapat TRE menandaskan bahwa orang-orang bisa mengalami perubahan melalui banyak jalan yang berbeda seperti memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang berarti, belajar tentang pengalaman-pengalaman, orang lain, memasuki hubungan dengan terapis, menonton film, mendengarkan rekaman-rekaman, mempraktekkan pekerjaan rumah yang spesifik, melibatkan diri kedalam korespondensi melalui saluran-saluran TRE, menghabiskan waktu sendirian untuk berpikir dan bermeditasi, dan dengan banyak cara lain untuk menentukan perubahan kepribadian yang tahan lama.
Teknik TRE yang esensial adalah mengajar secara aktif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif untuk mereedukasi klien. TRE adalah suatu proses didaktik dan karenanya menekankan metode-metode kognitif. Penggunaan metode-metode terapi tingkah laku seperti pelaksanaan pekerjaan rumah, desensitiasi, pengondisian operan, hipnoterapi, dan latihan asertif cenderung dilakukan secara aktif-direktif di mana terapis lebih banyak berperan sebagai guru dibandingkan sebagai pasangan yang erelasi secara intens.

Penerapan pada  Terapi Individual
TRE yang diterapkan pada penanganan seseorang kepada seseorang pada umumnya dirancang sebagai terapi yang relatif singkat. Ellis (dalam Corey, 2009) menyatakan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan-gangguan emosional yang berat sebaiknya menjalani terapi individual maupun kelompok dalamperiode tujuh bulan sampai satu tahun agar mereka memiliki kesempatan untuk mempraktekan apa yang sedang mereka pelajari.
Klien mulai dengan mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekankan dan menjabarkan perasaan-perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis mencari peristiwa-peristiwa pencetus yang mengakibatkan perasaan-perasaan yang membingungkan itu. Terpis juga mengajak klien untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah yang akan membantu klien untuk secara langsung melumpuhkan gagasan-gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekan cara-cara hidup yang lebih rasional.
Penerapan pada Terapi Kelompok
TRE sangat cocok untuk diterapkan pada terapi kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip-prinsp TRE pada rekan-rekannya dalam setting kelompok. Mereka memperoleh kesempatan untuk mempraktekan tingkah laku-tingkah laku baru yang melibatkan pengambilan-pengambilan risiko dan untuk pelaksanaan tugas pekerjaan rumah. Ellis (dalam Corey, 2009) mengembangkan suatu bentu terapi kelompok yang dikenal dengan nama A Weekend of Rational Encounter yang memanfaatkan metode-metode dan prinsip-prinsip TRE.
TRE memiliki beberapa keterbatasan. Karena pendekatan ini sangat didaktik, terapis perlu mengenal dirinya sendiri dengan baik dan hati-hati agar tidak hanya memaksakan filsafat hidupnya sendiri kepada para kliennya. Terapis TRE mengetahui kapan dia harus dan kapan dia tidak boleh “mendorong” klien. Seorang terapis bisa keliru menggunakan TRE dengan menyempitkan TRE menjadi pemberian metode-metode penyembuhan kilat, yakni dengan menyampaikan kepada para klien apa yang salah dan bagaimana mereka harus mengubahnya.





Sumber : Sumber : Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.


Minggu, 14 April 2013

ANALISIS TRANSAKSIONAL


NAMA           : DIAH RETNO WULANDARI
NPM               : 11510953
KELAS          : 3PA01

ANALISIS TRANSAKSIONAL
PENGANTAR
Pendiri dari terapi transaksional adalah Eric Berne. Suatu model terapi kontemporer yang cenderung ke arah aspek-aspek kognitif dan behavioral, dan dirancang untuk membantu orang-orang dalam mengevaluasi putusan-putusan yang telah dibuatnya menurut kelayakannya. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Teori Berne menggunakan beberapa kata utama, yaitu orang tua, orang dewasa, anak, putusan, putusan ulang, permainan, skenario, pemerasan, dicampuri, pengabaian dan ciri khas.
Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk digunakan dalam terapi kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi lain karena merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. AT melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi. AT juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. AT menekankan aspek-aspek kogntif rasional-behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat keputusan-keputusan dan mengubah cara hidupnya. AT berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-perasaannya.

KONSEP-KONSEP UTAMA
Pandangan tentang Sifat Manusia
AT berakar pada suatu filsafat yang antideterministik serta menekankan bahwa manusia sanggup melampaui pengondisian dan pemograman awal. AT berpijak pada asumsi-asumsi bahwa orang-orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa orang-orang mampu memilih dan memutuskan ulang. AT meletakkan kepercayaan pada kesanggupan individu untuk tampil diluar pola-pola kebiasaan dan menyeleksi tujuan-tujuan dan tingkah laku baru.
Haris (dalam Corey, 2009) sepakat bahwa manusia memiliki pilihan-pilihan dan tidak terbelenggu oleh masa lampaunya. Terapis mengakui bahwa alasan mengapa seseorang berada dalam terapi adaah karena dia ingin memasuki persengkongkolan dan memainkan permainan dengan orang lain. Bagaimanapun, terapis tidak mendukung pengembangan hubungan persengkongkolan dalam terapi.

Perwakilan-Perwakilan Ego
AT adalah suatu sistem terapi yang berlandaskan teori kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah, yaitu :
1.      Orang tua
Adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau dari subtitut orang tua. Jika ego orang tua dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan oleh kita adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua berisi perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa “orang tua pemelihara” atau “orang tua pengritik”.
2.      Ego orang dewasa
Adalah pengolahan data dan informasi yang merupakan bagian objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik bagi masalah orang tertentu.
3.      Ego anak
Berisi perasaan-perasaan, dorongan-dorongan, dan tindakan-tindakan spontan. “Anak” yang ada dalam diri kita berupa “Anak Alamiah”, “Profesor Cilik”, atau berupa “Anak yang Disesuaikan”. Anak Alamiah adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan dan ekspresif. Profesor Cilik adalah kearifan yang asli dari seorang anak. Anak yang disesuaikan menunjukkan suatu modifikasi dari Anak Alamiah. Modifikasi-modifikasi dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketetapan-ketetapan tentang bagaimana caranya memperoleh belaian.

Tujuan-Tujuan Terapis
Tujuan dasar Analisis Transaksional adalah membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hidupnya. Sasarannya adalah dengan mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh putusan-putusan dini mengenai posisi hidupnya dan oleh pilihan terhadap cara-cara hidup yang mandul dan deterministik. Inti terapi adalah menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang mengalahkan diri, dengan gaya hidup otonom yang ditandai oleh kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Harris (dalam Corey, 2009) tujuan AT adalah untuk membantu individu agar "memiliki kebebasan memilih, kebebasan mengubah keinginan, kebebasan mengubah respon-respon terhadap stimulus-stimulus yang lazim maupun yang baru". Pemulihan berlandaskan pengetahuan tentang ego orang tua dan ego anak serta tentang bagaimana kedua ego itu memasuki transaksi-transaksi sekarang. Tujuan terapeutik dicapai dengan mengajarkan kepada klien dasar-dasar ego orang tua, ego orang dewasa, dan ego anak.
Berne (dalam Corey, 2009) tujuan utama AT adalah pencapaian otonomi yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga karakteristik, yaitu kesadaran, spontanitas, dan keakraban. Selain itu, menurut James dan Jongeward (dalam Corey, 2009) melihat pencapaian otonomi sebagai tujuan utama AT, yang bagi mereka berarti "mengatur diri, menentukan nasib sendiri, memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakan dan perasaan-perasaan sendiri, serta membuat pola-pola yang tidak relevan dan tidak pantas bagi kehidupan di sini dan sekarang".

Fungsi dan Peran Terapis
Harris (dalam Corey, 2009) melihat peran terapis sebagai seorang "guru, pelatih, dan narasumber dengan penekanan kuat pada keterlibatan". Sebagai guru, terapis menerangkan konsep-konsep seperti analisi struktural, analisis transaksional, analisis skenario, dan analisis permainan. Terapis membantu klien menemukan kondisi-kondisi masa lampau yang merugikan yang meyebabkan klien membuat putusan-putasan dini tertentu, memungut rencana-rencana hidup, dan mengembangkan strategi-strategi yang telah dipertimbangkannya.
Sebagian besar teoris AT menekankan pentingnya hubungan yang setaraf antara terapis dan klien dan menunjuk kepada kontrak terapi sebagai bukti bahwa terapis dan klien adalah pasangan dalam proses-proses terapi. Oleh karena itu, tugas terapis adalah menggunakan pengetahuannya untuk menunjang klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang jelas yang diprakarsai oleh klien. Tugas terapis pada dasarnya adalah membantu agar klien memperoleh perangkat yang diperlukan bagi perubahan.

PENERAPAN : TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
Penerapan pada Kelompok
Konsep-konsep dan Analisi Transaksional cocok terutama untuk situasi-situasi kelompok. AT pada mulanya direncanakan sebagai suatu bentuk treatment kelompok dan prosedur-prosedur terapeutiknya memberikan hasil dalam setting kelompok. Dalam setting kelompok, orang-orang bisa mengamati perubahan orang lain yang memberikan kepada mereka model-model bagi peningkatan kebebasan memilih. Interaksi dengan anggota-anggota kelompok lain memberikan kepada mereka kesempatan-kesempatan yang luas untuk melaksanakan tugas-tugas dan memenuhi kontrak. Transaksi-transaksi dalam kelompok memungkinkan para anggota mampu meningkatkan keadaan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Treatment atas individu-individu dalam kelompok adalah memilih metode Analisis Transaksional.

Prosedur-Prosedur Terapeutik
Dalam praktek AT, teknik-teknik dari berbagai sumber, terutama dari terapi Gestalt digunakan. James dan Jongeward (dalam Corey, 2009) menggabungkan konsep-konsep dan proses-proses AT dengan eksperimen-eksperimen Gestalt. Sebagian besar metode dan proses terapeutik AT ini bisa diterapkan pada terapi individual maupun pada terapi kelompok. Dengan pendekatan gabungan itu, ia mendemonstrasikan peluang yang lebih besar untuk mencapai kesadaran diri dan otonomi. Bagaimanapun, kelompok adalah wahana yang penting bagi perubahan pendidikan dari terapeutik dalam praktek AT.







Sumber : Sumber : Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.